( Arif Wibowo ) “Sudahlah rif, sepertinya semua upaya telah aku lakukan, namun mengapa sekedar sapa dari Nya tak pernah kudapatkan,” sambil dibantingkan tubuh setengah tambunnya itu ke kasur tipis ala Palembang yang banyak di jual di pinggir jalan. Saya sendiri sambil membayangkan...ngek...pasti tulang iganya memaki, karena mendarat di bantalan padat. Namun itu semua tertutup oleh kegalauan yang terlihat sangat dalam. “Bayangkan rif, setelah aneka teori dialektika itu kudapatkan, pikiranku kini mulai mengajak ingkar pada Nya, tinggal benteng emosionalku yang tersisa, sebab ketika kecil aku akrab semua cerita tentang Nya. Aku sudah malas sholat, tapi jiwaku menolaknya, salahkah jika pada saat kristis seperti ini aku mengharapkan sapa Nya, langsung dari Nya, sehingga bisa kutanggalkan semua racun yang sudah terlanjur bersarang di pikiran.” Aku hanya bisa mengangguk-angguk, tak biasanya teman main ceki ku ini begitu serius pembicaraannya. Susahnya lagi, mengapa pertanyaan yang sehar...